Mainberita – Dilansir dari Tempo.co melalui mainberita.com, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menekankan pentingnya seluruh pemerintah daerah untuk mematuhi regulasi dari kementerian terkait penyelenggaraan pendidikan, termasuk mengenai jam belajar siswa.
Pernyataan ini disampaikan Mu’ti sebagai tanggapan atas kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang berencana memulai jam sekolah sejak pukul 6 pagi.
Mu’ti menjelaskan bahwa kementerian telah mengatur durasi kegiatan belajar mengajar siswa per hari dan jumlah hari belajar dalam seminggu. “Semua pihak sebaiknya memahami dan berpedoman pada regulasi yang telah ditetapkan kementerian,” ujar Mu’ti ketika dimintai komentar oleh media di Gedung Kemendikdasmen, Jakarta, pada Selasa, 3 Juni 2025.
Meski demikian, Mu’ti tidak secara langsung menyatakan bahwa kebijakan Dedi melanggar aturan. Ia juga tidak memberikan jawaban ketika ditanya apakah aturan sekolah mulai pukul 6 pagi termasuk pelanggaran terhadap regulasi yang ada.
Peraturan terkait jam belajar sendiri tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah.
Pasal 2 dalam aturan tersebut menyebutkan bahwa hari sekolah berlangsung selama 8 jam per hari atau 40 jam dalam seminggu, tersebar dalam 5 hari, dengan total waktu istirahat 2,5 jam per minggu. Namun, peraturan itu tidak menjelaskan secara spesifik pukul berapa kegiatan belajar boleh dimulai atau diakhiri.
Kebijakan memulai sekolah pada pukul 6 pagi merupakan bagian dari kebijakan baru Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang juga mencakup penerapan jam malam bagi pelajar serta jadwal sekolah Senin hingga Jumat. Seluruh ketentuan itu dituangkan dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 51/PA.03/Disdik.
Dedi Mulyadi menyebut bahwa kebijakan ini sudah pernah ia terapkan saat menjabat Bupati Purwakarta. “Tidak masalah dimulai pukul 06.00, karena tetap berakhir pada hari Jumat,” katanya melalui siaran pers Humas Pemprov Jabar, Jumat, 30 Mei 2025.
Namun, kebijakan tersebut menuai kritik, salah satunya dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, menilai keputusan tersebut perlu kajian lebih lanjut. Ia menyebut ketiadaan studi mendalam dan petunjuk teknis dapat menimbulkan berbagai kendala dalam pelaksanaannya. (*)