Mainberita – Gelombang tagar #BoikotTrans7 yang ramai di media sosial pekan ini kembali mengingatkan kita pada satu hal : media televisi masih memegang peran besar dalam membentuk opini dan emosi publik. Sekalipun dunia sudah beralih ke platform digital, satu tayangan yang dianggap tidak sensitif bisa langsung memantik reaksi berjamaah di jagat maya.
Fenomena ini seolah menegaskan bahwa publik kini tidak lagi hanya menjadi penonton, mereka adalah penilai aktif yang bisa memberi “sanksi sosial” dalam hitungan jam. Tayangan yang menyinggung nilai, budaya, atau kepercayaan masyarakat, sekecil apa pun, bisa berujung pada badai kritik dan tuntutan pertanggungjawaban.
Namun di balik riuhnya tagar, ada pelajaran penting yang patut diambil : industri penyiaran perlu berbenah. Era digital menuntut media tidak hanya kreatif, tetapi juga peka dan berhati-hati. Proses editorial check, fact filtering, hingga cultural sensitivity review seharusnya menjadi standar baru sebelum sebuah program disiarkan. Apalagi ketika topik yang diangkat bersinggungan dengan simbol sosial, agama, atau budaya masyarakat.
Sanksi dan kritik publik sejatinya bukan untuk menjatuhkan, tapi menjadi alarm bahwa penonton masa kini punya kesadaran etis yang tinggi. Mereka menuntut konten yang informatif tanpa melecehkan, menghibur tanpa menistakan, serta berani tanpa kehilangan adab.
Dalam konteks ini, momentum #BoikotTrans7 semestinya dipandang sebagai refleksi Bersama, bukan sekadar kesalahan satu program, tapi sinyal agar dunia penyiaran nasional melakukan introspeksi. Bahwa di balik teknologi canggih dan rating tinggi, ada tanggung jawab moral yang tidak boleh diabaikan. Dan mungkin, inilah saat yang tepat bagi media Indonesia untuk kembali menemukan jati dirinya : menjadi cermin bangsa, bukan sekadar layar hiburan.