Mainberita CANDI DADI – Matahari hampir berada di puncaknya ketika lintasan terakhir Roof Of Tulungagung menyimpan dua kisah yang akan lama tinggal di hati. Bukan sekadar catatan waktu atau urutan podium, melainkan tentang perjuangan, kesederhanaan, dan keberanian mengalahkan diri sendiri.

Di kategori 7x Loop Wanita, nama Rizza menjadi simbol keajaiban yang lahir dari tekad. Ia menuntaskan tujuh putaran jalur legendaris Candi Dadi kurang dari enam jam. Catatan waktu yang membuat banyak kepala terdiam, namun yang paling menyentuh justru bukan angkanya.
Di medan trail run yang terkenal kejam, tanah berbatu, tanjakan licin, dan turunan yang menguji nyali, Rizza berdiri di podium dengan outfit yang sangat sederhana. Bahkan, di jalur yang seharusnya dilibas dengan sepatu trail, ia justru berlari menggunakan sepatu road. Tanpa perlindungan khusus. Tanpa kemewahan. Hanya tekad yang berulang kali ia paksa bangkit setiap loop.

Saat Rizza melintasi gate finish, bukan hanya tepuk tangan yang pecah, tapi juga rasa haru yang menular. Perjuangannya seakan mengetuk nurani banyak orang. Satu per satu apresiasi mengalir, bukan karena aturan lomba, tapi karena kemanusiaan.
Bu Dendy dari Nyoklat Klasik hadir langsung di gate finish, menyerahkan sepasang sepatu, sebuah simbol bahwa perjuangan sederhana layak diberi pijakan yang lebih baik.

Pak Hendri dari Graha Mitra tak tinggal diam, memberikan apresiasi uang tunai sebesar Rp3.000.000, sebagai bentuk penghormatan pada mental baja yang ditunjukkan Rizza.

Sementara itu, melalui panitia, Dispora turut memberikan hadiah TV digital, menegaskan bahwa perjuangan tulus tak pernah berjalan sendirian.
Namun drama Roof Of Tulungagung belum usai.
Di menit-menit terakhir cut off time, lintasan kembali menahan napas. Chindi, peraih podium 2 kategori 7x Loop Wanita, berjuang di batas kemampuannya. Langkahnya berat, napasnya tersengal, namun matanya menolak menyerah. Detik demi detik berlalu, hingga akhirnya ia muncul di tikungan terakhir.

Saat Chindi memasuki garis finish, tangis pecah. Teman, sahabat, dan mereka yang menunggu sejak awal berdiri menyambutnya dengan air mata haru. Tidak ada teriakan kemenangan, yang ada hanya pelukan, isak, dan rasa syukur. Ia menuntaskan race di menit akhir, tepat sebelum waktu menutup pintunya.

Di Candi Dadi hari itu, podium bukan sekadar tempat berdiri. Ia adalah altar kecil bagi mereka yang telah menaklukkan rasa takut, lelah, dan keraguan dalam diri.

Dua kisah, satu pesan yang sama:
Juara sejati bukan hanya mereka yang tercepat, tetapi mereka yang mampu mengalahkan diri sendiri.
Sampai jumpa di Roof Of Tulungagung tahun depan.
URUS DIRIMU!

