Mainberita – Tradisi kupatan atau perayaan ketupat setelah Hari Raya Idul Fitri merupakan bagian dari budaya masyarakat Nusantara, khususnya di Pulau Jawa, Madura, dan sebagian wilayah lainnya di Indonesia. Tradisi ini sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu dan memiliki makna filosofis yang mendalam.
Sejarah Tradisi Kupatan
Asal-usul tradisi kupatan diyakini berkaitan erat dengan penyebaran Islam di Nusantara, khususnya pada masa Wali Songo.
Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, memperkenalkan tradisi kupatan sebagai simbol penyempurnaan ibadah setelah menjalankan puasa Ramadan dan puasa sunnah Syawal.
Dalam ajaran Sunan Kalijaga, ketupat atau “kupat” berasal dari kata “ngaku lepat” dalam bahasa Jawa, yang berarti “mengakui kesalahan.” Dengan demikian, tradisi kupatan menjadi momen untuk saling memaafkan dan mempererat hubungan antarsesama setelah merayakan Idul Fitri.
Makna Filosofis Ketupat
Ketupat bukan hanya sekadar hidangan khas Lebaran, tetapi juga memiliki simbolisme yang mendalam:
- Bentuk Anyaman: Anyaman daun kelapa yang membungkus ketupat melambangkan kompleksitas kehidupan manusia yang penuh dengan kesalahan dan dosa.
- Beras di Dalamnya: Beras yang mengisi ketupat melambangkan hati yang suci setelah menjalankan ibadah puasa dan memperoleh ampunan dari Allah.
- Proses Memasak: Ketupat direbus dalam waktu yang lama, menggambarkan usaha dan perjuangan dalam menjalani kehidupan serta proses pensucian diri.
- Dipotong Sebelum Dimakan: Ketupat biasanya dipotong sebelum disantap, melambangkan pembersihan diri dari segala kesalahan.
Kupatan Sebagai Perayaan Tambahan
Perayaan kupatan biasanya dilaksanakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri, tepatnya pada hari ke-8 bulan Syawal. Beberapa daerah di Indonesia memiliki tradisi unik dalam menyelenggarakan kupatan:
- Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, masyarakat menggelar tradisi “Syawalan,” di mana keluarga besar berkumpul dan menikmati hidangan ketupat bersama.
- Di Madura, kupatan disebut “Tellasan Topak” dan dirayakan dengan aneka makanan khas serta doa bersama.
- Di Lombok, tradisi kupatan disebut “Lebaran Topat,” yang diiringi dengan berbagai kegiatan budaya seperti lomba perahu hias dan pembagian ketupat kepada masyarakat.
Tradisi kupatan setelah Hari Raya Idul Fitri bukan hanya sekadar perayaan kuliner, tetapi juga memiliki nilai sejarah, makna religius, dan filosofi yang mendalam.
Tradisi ini mengajarkan pentingnya introspeksi, saling memaafkan, dan mempererat silaturahmi dalam kehidupan bermasyarakat. Hingga kini, perayaan kupatan masih lestari dan menjadi bagian dari kekayaan budaya Islam di Indonesia. (*)