Mainberita – Di tengah tekanan regulasi, kampanye kesehatan, dan pergeseran selera anak muda, industri rokok di Indonesia malah makin “ramai panggung”. Satu demi satu merek baru bermunculan, dari yang dikemas elegan, rasa “manis”, sampai yang tampil garang dengan tagline kebebasan.
Pertanyaannya : ini pertanda peluang bisnis baru, atau justru napas terakhir industri tua?
Kalau diamati, tren ini bukan kebetulan. Banyak pabrikan kecil dan menengah melihat celah di pasar yang dulu dikuasai merek besar. Mereka memanfaatkan dua hal : selera anak muda yang cepat berubah dan harga jual yang harus tetap terjangkau. Dari sinilah lahir berbagai merek baru yang mencoba menyesuaikan diri, baik dengan desain modern maupun strategi distribusi grassroots.
Namun di sisi lain, para pengamat ekonomi mengingatkan : industri rokok di Indonesia sedang menghadapi tantangan struktural. Kenaikan cukai, pengawasan iklan, serta tren gaya hidup sehat menjadi tembok besar. Artinya, mereka yang masuk ke pasar ini harus siap dengan risiko tinggi : untung cepat atau tumbang lebih cepat.
Dari sisi sosial, merek-merek baru juga membawa dilema. Di satu sisi, membuka lapangan kerja bagi ribuan orang di sektor produksi, distribusi, hingga promosi. Tapi di sisi lain, ada pertanyaan etis : apakah kita sedang membangun ekonomi, atau menunda perubahan gaya hidup masyarakat menuju lebih sehat?
Kata logika anak desa, “kalau pohon tua masih berbuah, jangan ditebang — tapi juga jangan lupa menanam yang baru.” Artinya, industri rokok bisa tetap berjalan, asal berani bertransformasi : mengalihkan investasi ke sektor agro, tembakau organik, atau produk turunan nonrokok seperti parfum tembakau dan produk wellness berbasis nikotin rendah.
Jadi, bermunculannya merek rokok baru bukan sekadar tren. Ia adalah cermin: apakah kita sedang menghidupkan peluang bisnis, atau sekadar memperpanjang umur industri yang harusnya mulai berbenah?