Mainberita – Serial Bidaah asal Malaysia memicu perbincangan luas di kalangan masyarakat Muslim Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
Serial ini berani mengangkat isu-isu sensitif terkait praktik keagamaan yang dianggap “menyimpang” atau tak sesuai dengan ajaran Islam murni menurut pandangan kelompok tertentu.
Namun, lebih dari sekadar hiburan, serial ini mencerminkan dinamika ideologis yang juga tengah berlangsung di Indonesia—negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.
Konteks Serial Bidaah
Serial Bidaah berkisah tentang konflik internal umat Islam yang mempertentangkan antara tradisi keagamaan lokal dan ajaran Islam yang dipahami secara lebih skriptural atau puritan.
Di Malaysia, isu ini sangat relevan karena terdapat ketegangan antara Islam tradisional (yang mengakomodasi unsur budaya lokal) dan gerakan Islam modernis yang menginginkan pemurnian ajaran agama.
Dalam serial ini, tokoh-tokohnya menggambarkan dua kutub utama: satu yang berpegang teguh pada tradisi (seperti ziarah kubur, tahlilan, dan amalan tasawuf), dan satu lagi yang menganggap praktik tersebut sebagai “bidaah”—perkara baru yang dianggap sesat karena tidak dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Cerminan Islam di Indonesia
Kondisi yang digambarkan dalam Bidaah memiliki kemiripan dengan realitas di Indonesia. Islam di Indonesia sangat majemuk.
Ada Islam tradisionalis (seperti yang dipraktikkan oleh kalangan Nahdlatul Ulama) yang menerima praktik-praktik lokal dan sufisme, dan ada pula kelompok Islam yang lebih skripturalis dan kadang terinspirasi oleh paham Salafi atau Wahabi.
Isu “bidaah” juga sering muncul dalam perdebatan di media sosial, ceramah, bahkan dalam relasi antarwarga. Konflik seputar amalan seperti tahlilan, maulidan, dan ziarah kubur masih menjadi topik sensitif.
Dalam konteks ini, serial Bidaah menjadi semacam cermin yang memperlihatkan bahwa perdebatan tentang otentisitas ajaran Islam bukan hanya terjadi di Malaysia, tetapi juga sangat relevan bagi umat Islam Indonesia.
Pengaruh Media terhadap Diskursus Keagamaan
Serial seperti Bidaah menunjukkan bagaimana media bisa menjadi arena pertarungan wacana keagamaan.
Ketika isu-isu seperti bidaah, pemurnian agama, dan peran tradisi dibawa ke ranah populer, mereka tidak hanya menjadi bahan tontonan, tapi juga memperkuat atau mengguncang keyakinan masyarakat.
Di Indonesia, tontonan seperti ini bisa memicu refleksi maupun reaksi keras, tergantung pada posisi ideologis penontonnya. Di satu sisi, bisa membuka ruang dialog. Di sisi lain, bisa memperkeruh polarisasi.
Serial Bidaah bukan hanya drama religi dari negeri tetangga. Ia adalah refleksi dari pergulatan ideologis yang juga terjadi di Indonesia.
Dengan masyarakat Muslim yang sangat plural, Indonesia menghadapi tantangan yang mirip: bagaimana menjaga harmoni antar-pemahaman Islam, tanpa mengorbankan kekayaan tradisi dan nilai toleransi yang telah lama mengakar. (*)