Mainberita Tulungagung – Belakangan ini, kabar soal keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) terdengar di berbagai daerah. Tak terkecuali di Tulungagung, puluhan siswa sempat muntah dan pusing usai menyantap menu nasi kuning ayam kecap dari dapur MBG. Wajar kalau kemudian para orang tua mulai waswas, yang seharusnya program “bergizi” malah berubah jadi “berisiko”.
Di beberapa tempat muncul obrolan sederhana tapi masuk akal : “Apa nggak lebih baik program MBG diganti saja dengan subsidi beras murah?”
Logikanya begini. Program MBG memang punya niat baik memberi gizi tambahan bagi anak-anak sekolah. Tapi kalau pengawasannya lemah, bahan makannya tidak higienis, dan dapurnya belum laik sanitasi, maka niat baik itu justru bisa mencelakai. Sementara itu, masyarakat menilai ada cara lain yang lebih aman, lebih merata, dan langsung terasa manfaatnya salah satunya dengan subsidi harga beras.
Bayangkan kalau dana MBG yang triliunan itu dialihkan untuk mensubsidi harga beras hingga Rp5.000 per kilo, pasti efeknya jauh lebih luas. Semua rumah tangga, dari ujung desa sampai pinggir kota, akan ikut merasakan manfaatnya. Tidak perlu dapur besar, tidak perlu ribet distribusi nasi kotak, dan yang paling penting tidak ada risiko keracunan massal.
Orang tua pun bisa lebih tenang. Anaknya tetap makan nasi, tapi masakan ibu sendiri di rumah. Kandungan gizinya bisa diatur sesuai selera, kebersihan terjamin, dan uang belanja tidak terlalu berat. Program seperti ini juga memberi ruang bagi petani lokal, karena permintaan beras tetap stabil, bahkan bisa naik karena harga diatur lebih ramah di pasar rakyat.
Dan kalau mau jujur, subsidi beras jauh lebih efektif dibanding subsidi BBM. Kenapa? Karena yang paling banyak makan nasi adalah rakyat kecil, tukang bangunan, buruh tani, pedagang keliling, dan keluarga sederhana. Orang kaya malah sering diet karbo, ganti nasi dengan salad atau roti gandum. Jadi, menurunkan harga beras adalah bentuk subsidi yang benar-benar menyentuh perut rakyat.
Pada akhirnya, ini bukan soal menolak program pemerintah, tapi soal efisiensi dan rasa aman. Program Makan Bergizi Gratis itu baik, namun dalam pelaksanaannya, banyak celah. Sementara beras murah adalah kebutuhan universal yang tidak menimbulkan risiko baru. Kadang, rakyat kecil hanya ingin yang sederhana: makan tenang tanpa rasa khawatir, bukan makan gratis tapi takut sakit.
Kalimat bijaknya adalah “Kadang gizi terbaik bukan dari dapur negara, tapi dari tangan ibu yang ada di rumah”.