Mainberita – “Jangan ngaku calcer kalau belum main padel.” Kalimat itu sekarang sering muncul di media sosial, jadi semacam “kode” bagi mereka yang sedang menggandrungi olahraga baru yang disebut padel. Lapangan berpagar kaca, raket tanpa senar, dan bola yang meluncur cepat di ruang sempit—semuanya menciptakan daya tarik tersendiri. Tapi pertanyaannya, apakah padel ini hanya tren sesaat, atau benar-benar akan bertahan lama di hati para penggemarnya?
Padel, Olahraga Lama yang Baru Naik Daun, Sedikit mundur ke belakang, padel bukan olahraga yang baru lahir kemarin sore. Ia lahir di Acapulco, Meksiko, sekitar tahun 1969, diciptakan oleh Enrique Corcuera—seorang pengusaha yang ingin berolahraga tenis, tapi di rumahnya tak ada lahan cukup luas. Maka ia membuat lapangan mini dengan dinding kaca dan pagar, agar bola tidak keluar area. Dari situ, padel lahir.
Tak lama kemudian, padel menyeberang ke Spanyol dan Argentina, lalu berkembang pesat di Eropa hingga Amerika Latin. Kini, hampir setiap negara punya lapangan padel—dan Indonesia pun tak mau ketinggalan.
Dari Jakarta, Bali, hingga Bandung, lapangan padel bermunculan. Bahkan di beberapa daerah, padel sudah mulai jadi gaya hidup baru kalangan urban. Sebuah simbol gaya hidup aktif, modern, dan berkelas. Raketnya tidak murah, sepatu dan perlengkapannya pun cukup menguras kantong. Tapi justru di situlah daya tariknya. Sama seperti golf di era 90-an, padel kini jadi cara baru untuk berjejaring, nongkrong sehat, dan tentu saja, eksis di media sosial.
Tak heran jika banyak yang menyebut padel sebagai olahraga calcer singkatan dari classy player. Bermain padel jadi semacam “kode sosial” baru. Mau dibilang keren? Ya, mainlah padel. Lebih dari Sekadar Tren Namun jika hanya mengandalkan gaya hidup, padel tak akan bertahan lama. Yang membuat sebuah olahraga hidup adalah struktur liga, turnamen, pelatih, dan jenjang kompetisi yang jelas.
Bayangkan jika padel diorganisir seperti futsal : ada liga antar-komunitas, turnamen bulanan, hingga kejuaraan nasional. Di situ potensi sport tourism mulai terlihat. Kota-kota bisa berlomba-lomba menjadi tuan rumah turnamen padel. Wisatawan datang, hotel penuh, dan ekonomi daerah bergerak. Padel bukan lagi olahraga gengsi ia berubah jadi ekosistem wisata olahraga yang menghasilkan.
Sayangnya, jalan padel menuju “olahraga rakyat” masih panjang. Membangun lapangan padel butuh biaya besar, dinding kaca, lantai khusus, pencahayaan, dan lahan luas. Akibatnya, harga sewa lapangan juga tidak murah. Untuk banyak orang, padel masih terlihat “olahraga orang berada”. Kalau aksesnya tak diperluas, padel bisa bernasib sama seperti squash: keren di awal, tapi perlahan tenggelam karena tidak bisa menjangkau semua lapisan masyarakat.
Padel sebenarnya punya semua unsur untuk bertahan lama: seru, sosial, dan menantang. Ia tak sekompetitif tenis, tapi juga tak sekadar olahraga ringan. Cocok untuk siapa saja yang ingin bergerak tapi tetap bergaya.
Jika komunitas, pelatih, dan pengusaha padel di Indonesia bisa membangun sistem kompetisi yang berkelanjutan—turnamen berseri, pelatihan, hingga kerja sama dengan sektor pariwisata—maka padel bisa melangkah jauh. Ia bisa jadi “ikon baru sport tourism” yang memadukan gaya, kesehatan, dan wisata.
Kesimpulan: Padel Bukan Sekadar Tren, tapi Cerminan Zaman
Padel adalah cerminan dari cara baru masyarakat berolahraga: ingin sehat, tapi tetap sosial; ingin kompetitif, tapi tetap bergaya.
Apakah padel akan bertahan lama? Jawabannya tergantung: apakah kita membiarkannya jadi tren media sosial, atau menjadikannya fondasi baru dalam dunia sport tourism Indonesia. Kalau pilihan kedua yang diambil maka padel akan lebih dari sekadar raket dan kaca. Ia akan jadi simbol bagaimana olahraga, gaya hidup, dan wisata bisa menyatu dalam satu permainan yang seru. Padel akan bertahan selama kita mau memainkannya bukan hanya untuk gaya, tapi untuk tujuan. Karena pada akhirnya, yang membuat olahraga bertahan bukan sekadar tren, tapi arah yang dituju.

