Mainberita – Olahraga padel kian mencuri perhatian. Di berbagai kota besar Indonesia, mulai dari Jakarta, Bali, hingga Surabaya, lapangan padel tumbuh bak jamur di musim hujan. Olahraga yang menggabungkan unsur tenis dan squash ini kini digandrungi banyak kalangan, bukan hanya karena seru, tapi juga karena dianggap sebagai “social sport”, olahraga yang mempertemukan orang-orang dari berbagai latar belakang.
Padel sendiri lahir di Meksiko pada tahun 1969, hasil kreativitas Enrique Corcuera yang ingin bermain tenis di halaman rumahnya yang sempit. Dari halaman rumah itulah, padel kemudian menjelajah dunia, sampai akhirnya mendarat di Indonesia dan menemukan peminatnya di kalangan muda perkotaan.
Kini, Indonesia bahkan menjadi negara dengan jumlah lapangan padel terbanyak di Asia Tenggara. Pusatnya masih di Bali dan Jakarta, tapi beberapa kota lain seperti Surabaya, Malang, hingga Tulungagung mulai memiliki lapangan sendiri yang jadi tempat berkumpulnya komunitas dan pecinta olahraga baru ini.
Lalu, kenapa padel disebut sebagai social sport? Karena padel bukan sekadar olahraga, ia adalah tempat bersosialisasi. Permainannya dimainkan berpasangan (2 lawan 2), sehingga interaksi dan kerja sama menjadi kunci utama. Di banyak klub padel, orang datang bukan hanya untuk berkeringat, tapi juga untuk membangun relasi, melepas stres, dan menikmati suasana santai. Lapangan padel sering kali dilengkapi area nongkrong, kafe, hingga spot foto estetik yang membuat olahraga ini terasa seperti gaya hidup.
“Padel itu bukan soal menang atau kalah, tapi soal koneksi. Setiap permainan bisa membuka pertemanan baru,” kata salah satu pemain yang menggambarkan esensi dari olahraga ini.
Kementerian Pemuda dan Olahraga pun menyebut padel sebagai bagian dari tren “social sport”, olahraga yang memasyarakatkan gaya hidup aktif sekaligus membangun jejaring sosial yang sehat.