Mainberita – Di balik megahnya bangunan Sekolah Indonesia Den Haag (SIDH) yang berdiri tegak di kawasan hijau Wassenaar, tersimpan kisah sederhana namun penuh makna tentang loyalitas dan pengabdian. Kisah itu datang dari seorang pria asal Tulungagung, Jawa Timur, bernama Mulyono, yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk menjaga dan merawat sekolah kebanggaan Indonesia di Belanda ini.
Bagi banyak orang, Den Haag mungkin identik dengan diplomasi dan gedung-gedung megah tempat para perwakilan dunia berdiskusi. Namun bagi Mulyono, Den Haag adalah ladang pengabdian — tempat ia menyalakan semangat Indonesia di tanah Eropa.
Perjalanan Mulyono dimulai dari sebuah desa di Tulungagung. Ia tumbuh dengan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan ketulusan — warisan moral khas masyarakat Jawa. Saat mendapat kesempatan bekerja di lingkungan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Mulyono tak pernah menyangka bahwa tugasnya akan menjadi panggilan hidup.
Bertahun-tahun ia setia bekerja di Sekolah Indonesia Den Haag (SIDH), bukan hanya sebagai penjaga fasilitas, tetapi juga penjaga semangat. Ia merawat ruang kelas, taman sekolah, dan memastikan bendera Merah Putih selalu berkibar dengan gagah setiap pagi. Dalam diam, Mulyono menjadi saksi perjalanan generasi demi generasi pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di luar negeri.
“Bagi saya, ini bukan sekadar pekerjaan. Ini rumah Indonesia di negeri orang,” tutur Mulyono dengan nada lirih namun penuh kebanggaan.
Sekolah Indonesia Den Haag: Rumah Kedua bagi Anak Bangsa. Sekolah Indonesia Den Haag sendiri memiliki sejarah panjang. Didirikan pada 15 Juni 1965, sekolah ini merupakan salah satu Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) tertua yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Awalnya sekolah ini berdiri di Violenweg 13, Den Haag, sebelum akhirnya pindah ke lokasi permanen di Rijksstraatweg 679, Wassenaar, dan diresmikan pada 17 Agustus 1965 — bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI. Perpindahan itu menandai babak baru: Indonesia memiliki tempat resmi untuk mendidik anak-anak perwakilan, diaspora, dan warga Indonesia di Eropa dengan kurikulum nasional yang tetap berjiwa nusantara.
Kini SIDH menjadi simbol diplomasi pendidikan Indonesia di Eropa. Tak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga nilai kebangsaan, budaya, dan karakter Indonesia. Di tengah hiruk pikuk dunia internasional, SIDH menjaga agar bahasa Indonesia, lagu kebangsaan, dan semangat gotong royong tak pernah padam.
Loyalitas yang Tak Terukur oleh Waktu. Bagi banyak siswa dan guru di SIDH, sosok Mulyono bukan sekadar petugas. Ia adalah “penjaga semangat,” orang yang memastikan semua berjalan baik, dari pagi hingga senja. Saat musim dingin menggigit, ia memastikan ruang kelas tetap hangat. Saat musim panas datang, ia menjaga halaman tetap rapi, seolah sekolah itu bagian dari rumahnya sendiri.
Meski jauh dari kampung halaman di Tulungagung, Mulyono tak pernah kehilangan jati diri. Dalam setiap langkahnya, ada nilai kesetiaan, kesederhanaan, dan cinta terhadap Indonesia.
“Kalau saya rindu kampung, saya lihat anak-anak di sini menyanyikan Indonesia Raya. Rasanya seperti pulang,” ujarnya dengan senyum yang tulus.
Loyalitas Mulyono mencerminkan semangat yang sering kali terlupakan — bahwa pengabdian tidak selalu lahir dari jabatan atau gelar, melainkan dari ketulusan menjaga sesuatu yang kita cintai. Dalam dirinya, kita melihat wajah Indonesia: sederhana, ulet, dan setia pada nilai-nilai luhur.
Sekolah Indonesia Den Haag boleh jadi berdiri di tanah Belanda, tetapi berkat orang-orang seperti Mulyono, jiwa Indonesia tetap hidup di setiap sudutnya.