Mainberita – Fenomena sound horeg belakangan kembali menjadi sorotan di berbagai wilayah Jawa Timur. Meskipun seringkali menuai keluhan dari masyarakat karena dianggap mengganggu ketertiban umum, suara bising berlebihan, hingga potensi mengganggu ibadah, para penggemarnya tetap bertahan dan bahkan marah ketika dihujat atau dicap sebagai “SDM rendah”.
Lantas, mengapa para pecinta sound horeg begitu ngotot mempertahankan hobi mereka, meski sudah ada imbauan bahkan larangan dari aparat dan pemerintah setempat?
1. Ajang Ekspresi dan Hiburan Murah Meriah
Bagi sebagian anak muda di pedesaan hingga pinggiran kota, sound horeg bukan sekadar alunan musik keras, tapi sudah menjadi ajang ekspresi dan pelarian dari rutinitas harian.
Musik ini dianggap menyenangkan, membangkitkan semangat, dan mudah diakses tanpa harus mengeluarkan biaya mahal seperti konser-konser resmi.
2. Rasa Kebersamaan dan Komunitas
Di balik dentuman bass keras, ada komunitas yang solid. Banyak penggemar sound horeg yang merasa memiliki “keluarga” baru di dalam komunitas ini. Mereka berkumpul, saling mendukung, dan merancang acara bersama.
Ketika larangan datang, yang mereka rasakan bukan hanya pembatasan hiburan, tetapi juga pemisahan dari kelompok sosial yang mereka banggakan.
3. Merasa Tidak Diberi Ruang
Banyak penggemar sound horeg menganggap bahwa pemerintah dan masyarakat umum terlalu cepat menghakimi tanpa memberi ruang untuk berdialog atau menyediakan alternatif hiburan yang lebih sesuai. Mereka merasa termarjinalkan dan akhirnya justru semakin menolak aturan yang dirasa tidak memihak mereka.
4. Reaksi terhadap Stigma Negatif
Sebutan seperti “tidak berpendidikan”, “SDM rendah”, atau “gangguan masyarakat” memicu reaksi keras dari para penggemar. Bagi mereka, kritik semacam ini tidak adil dan merendahkan martabat.
Alih-alih membuat mereka berhenti, hinaan justru memunculkan perlawanan dan dorongan untuk semakin menunjukkan eksistensi.
Alih-alih memadamkan sound horeg dengan pendekatan represif, barangkali diperlukan dialog terbuka dan pendekatan berbasis komunitas.
Pemerintah daerah bisa mengarahkan sound horeg ke acara-acara resmi dengan pengawasan jam dan volume tertentu. Dengan begitu, budaya ini tetap hidup tanpa harus merugikan masyarakat lain.