Mainberita – Tidak banyak benda yang bisa menembus batas antara masjid dan istana, antara sajadah dan podium kenegaraan. Tapi satu benda sederhana berhasil melakukannya “PECI”. Dikenal juga dengan sebutan kopiah atau songkok, peci telah menjadi bagian dari identitas laki-laki Indonesia sejak lama. Bentuknya sederhana, hitam, kaku, dengan bagian atas datar, namun maknanya mendalam. Ia bukan sekadar penutup kepala, tapi simbol kesantunan, keislaman, dan kebangsaan.
Dari Langgar ke Istana, peci pertama kali populer di kalangan santri dan jamaah pengajian. Ia menjadi lambang kesopanan dan tanda siap beribadah. Di pesantren-pesantren tradisional, peci adalah bagian dari etika, tak pantas mengaji tanpa menutup kepala.
Namun, sejarah mencatat perubahan besar ketika Soekarno, sang Proklamator, mulai mengenakan peci dalam setiap kesempatan resmi. “Peci ini bukan hanya simbol Islam,” katanya suatu ketika, “tapi simbol kepribadian nasional”. Sejak saat itu, peci tak lagi hanya milik kaum sarungan. Ia naik derajat menjadi bagian dari simbol kenegaraan Indonesia. Dari presiden hingga pejabat tinggi, peci menjadi pelengkap busana resmi berdiri sejajar dengan jas dan dasi.
Bagi masyarakat, peci punya tempat tersendiri. Di desa-desa, ia menjadi penanda kesopanan dalam hajatan atau shalat Jumat. Di kota, peci muncul saat Lebaran, peringatan hari besar Islam, bahkan acara formal seperti wisuda atau pelantikan.
Peci juga lintas budaya: tak hanya umat Islam, banyak tokoh nasional non-Muslim pun memakainya saat acara kenegaraan yang menandakan bahwa peci telah menjadi simbol persatuan, bukan sekadar agama.
Peci dan Para Pemimpin, hampir semua presiden Indonesia mengenakan peci hitam dalam potret resminya. Soekarno menjadikannya identitas perjuangan. Soeharto menjadikannya lambang ketertiban dan wibawa. Gus Dur memakainya dengan santai tapi penuh makna. Jokowi dan kini Prabowo Subianto pun tetap melestarikannya sebagai simbol kontinuitas budaya bangsa.
Peci adalah narasi panjang tentang bagaimana bangsa ini memadukan nilai agama dan nasionalisme dalam satu bentuk sederhana. Dari surau kecil di kampung sampai ruang sidang istana, peci menjadi jembatan moral dan simbol kebangsaan.
Dan di tengah zaman modern yang serba terbuka, peci masih kokoh berdiri’ di kepala para santri, pejabat, dan rakyat biasa. Sederhana, tapi sarat makna.
Seperti kata pepatah tua “Yang sederhana, justru yang mempersatukan.” Mainberita.com