BLITAR – Reforma agraria di Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Topik ini mengemuka setelah pakar agraria Gunawan Wibhadi menegaskan pentingnya pelaksanaan land reform secara nyata untuk mengembalikan keseimbangan penguasaan tanah yang kian timpang di Tanah Air.
Menurut Gunawan, reforma agraria sejatinya adalah proses pengaturan kembali atau perombakan struktur penguasaan tanah di masyarakat. “Land reform bukan sekadar pembagian tanah, melainkan perubahan sistem, relasi, dan struktur penguasaan agar lebih adil,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dasar hukum kebijakan ini sudah tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang memiliki corak neopopulis dan bersifat redistributif. Artinya, setiap keluarga memiliki batasan penguasaan tanah berdasarkan kebutuhan dan kemampuan mengelolanya, bukan sekadar kepemilikan formal.
Gunawan menyoroti kondisi terkini di Indonesia, di mana tanah yang dulunya “biru”—milik rakyat—kini hampir seluruhnya berubah “merah” karena dikuasai oleh korporasi besar. “Tanah-tanah rakyat kini banyak dipetakan untuk ekspansi perkebunan, proyek infrastruktur, hingga industri ekstraktif,” tegasnya.
Situasi ini membuat petani kecil dan keluarga tunakisma (tidak memiliki tanah) semakin sulit mengakses sumber penghidupan. Padahal, tanah adalah modal dasar bagi sektor pertanian dan ketahanan pangan nasional.
Karena itu, land reform menjadi langkah penting yang harus dijalankan dengan konsisten oleh pemerintah. “Redistribusi tanah adalah kunci. Tanah yang ada harus diberikan kepada petani kecil agar mereka memiliki sumber ekonomi yang layak,” ujarnya.(*)

