MAINBERITA TULUNGAGUNG –
Setiap langkah di jalur tanah selalu punya cerita. Saat sepatu menjejak lumpur, napas berpadu dengan embusan angin, dan kabut pagi menyapa dari lereng gunung — di sanalah jiwa manusia seperti dipanggil pulang.
Banyak orang mengenal trail running sebagai olahraga baru, penuh gaya dan adrenalin. Tapi siapa sangka, jauh sebelum istilah itu populer, manusia sudah berlari di alam sebagai bagian dari hidupnya.
⸻
🏔️ Berawal dari Bukit Inggris yang Berkabut
Sekitar dua abad lalu, di dataran tinggi Inggris, para petani dan gembala punya tradisi unik. Mereka berlomba menyeberangi bukit dan lembah dalam ajang yang disebut fell running. Tak ada lintasan beraspal, tak ada penonton ramai — hanya jalur rumput basah, angin dingin, dan tekad untuk sampai di puncak tercepat.
Bagi mereka, berlari bukan sekadar olahraga. Itu cara untuk mengukur diri, menghormati alam, dan menemukan kebanggaan sederhana.
Dari tradisi itulah benih trail running tumbuh — dari desa kecil yang sunyi hingga akhirnya menembus panggung dunia.
⸻
🌍 Dari Pegunungan Alpen ke Hutan Tropis
Ketika olahraga modern berkembang, semangat itu menyebar. Tahun 1974 di Amerika Serikat, lahirlah ajang legendaris Western States Endurance Run, lomba lintas gunung sejauh 100 mil yang menguji daya tahan fisik dan mental.
Lalu di Eropa, muncul Ultra-Trail du Mont-Blanc (UTMB) di Prancis, di mana ribuan pelari menaklukkan jalur bersalju di kaki gunung Alpen.
Dari situlah, trail running menjadi lebih dari sekadar kompetisi — ia menjelma menjadi perjalanan spiritual. Sebuah pencarian, di mana pelari bukan hanya melawan waktu, tapi juga berdialog dengan dirinya sendiri.
⸻
🌿 Indonesia Menyambut dengan Nafas Tropis
Di Indonesia, trail running mulai dikenal sekitar satu dekade terakhir. Gunung-gunung seperti Bromo, Rinjani, dan Gede Pangrango menjadi lintasan baru bagi mereka yang rindu sensasi berlari di tengah alam liar.
Kini, semangat itu juga mulai terasa di daerah-daerah yang dikelilingi keindahan alam — termasuk Tulungagung, dengan bentang lereng Wilis yang memanggil para pelari untuk mencoba jalur barunya.
Di jalur tanah yang sepi, setiap napas menjadi meditasi. Setiap langkah menjadi cara manusia menghormati bumi yang diinjaknya.
⸻
🌄 Lari yang Membawa Pulang
Trail running bukan tentang siapa yang tercepat. Ia tentang siapa yang paling menikmati perjalanan. Tentang bagaimana manusia kembali pada kesunyian, mendengarkan detak jantungnya sendiri, dan merasakan kebebasan yang tak bisa dibeli.
Dan mungkin, di lereng-lereng Wilis yang mulai ramai oleh langkah-langkah pelari lokal, kita sedang menyaksikan babak baru — kisah lama yang lahir kembali dalam wajah modern.
Karena pada akhirnya, manusia memang diciptakan untuk berlari. Bukan di atas aspal, tapi di atas tanah yang hidup, di bawah langit yang luas, dan di antara pepohonan yang menjadi saksi setiap langkahnya.

