Mainberita – Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Tulungagung mengenai panduan ibadah selama Ramadan dan Idulfitri 1446 H/2025 M menuai polemik di kalangan masyarakat.
SE bernomor 400.8/266/20.01.02/2025, yang ditandatangani oleh Bupati Tulungagung pada 28 Februari 2025, terdiri dari 23 poin aturan. Namun, poin 19 dan 20 menjadi sorotan karena melarang operasional tempat hiburan, karaoke, panti pijat, dan usaha sejenisnya sepanjang bulan Ramadan hingga dua hari setelah Syawal.
Dampak Ekonomi dan Keluhan Pengusaha
Aturan ini menimbulkan kekhawatiran bagi para pelaku usaha yang terdampak. Salah satu pengusaha warung kopi (warkop), San, mengungkapkan keresahannya terhadap dampak ekonomi dari kebijakan tersebut.
Ia mengaku telah mematuhi aturan dan diawasi oleh Satpol PP, namun akibatnya harus menutup usahanya hingga akhir Ramadan, yang berimbas pada kondisi keuangan menjelang Lebaran.
Selain itu, San juga menyoroti nasib para pekerjanya, seperti tukang parkir, operator, pemasak, hingga pemandu lagu (LC/Ladies Company), yang kehilangan penghasilan akibat kebijakan tersebut. Menurutnya, aturan ini tidak memperhitungkan dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat kecil.
Kritik dari Pemerhati Sosial
Kebijakan ini juga mendapat kritik dari Gus Edi Al Ghoibi, seorang pemerhati sosial sekaligus pemilik yayasan yang fokus pada isu-isu kemasyarakatan. Menurutnya, SE Bupati ini bertentangan dengan upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan UMKM.
“Surat edaran ini kontradiktif dengan program sejuta UMKM yang pernah digagas Bupati. Larangan ini justru merugikan banyak orang, terutama saat menjelang Lebaran, di mana kebutuhan ekonomi meningkat,” ujar Gus Edi.
Sebagai respons terhadap kebijakan tersebut, Gus Edi berencana mengajukan audiensi dengan DPRD Tulungagung pada 6 Maret 2025.
Dalam pertemuan tersebut, ia berharap bisa menyampaikan aspirasi masyarakat terdampak dan mendorong agar aturan ini ditinjau ulang atau bahkan dijadikan Peraturan Daerah (Perda) yang lebih berpihak kepada masyarakat.
Keputusan pemerintah daerah ini memunculkan perdebatan antara kepentingan religius dan dampak ekonomi bagi masyarakat. Dengan adanya audiensi ke DPRD, diharapkan kebijakan ini dapat ditinjau ulang demi menemukan solusi yang lebih adil bagi semua pihak. (*)