Mainberita – Di tengah derasnya arus modernisasi, tebu tetap menjadi tumpuan hidup bagi ribuan keluarga di Jawa Timur. Dari batang manis ini, muncul geliat ekonomi baru yang menggerakkan desa mampu menghadirkan lapangan kerja, membuka peluang usaha, dan menjaga denyut kehidupan masyarakat pedesaan.
Setiap musim giling tiba, jalan-jalan desa di Tulungagung, Kediri, Blitar hingga Malang ramai oleh truk pengangkut tebu. Aktivitas itu bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi simbol perputaran ekonomi yang masih sangat hidup. Dari petani, sopir truk, pekerja tebang, hingga buruh pabrik, semua terlibat dalam satu siklus ekonomi yang berputar dari ladang hingga pabrik gula.
Menurut data Dinas Perkebunan Jawa Timur, sektor tebu menyerap ratusan ribu tenaga kerja langsung dan tidak langsung. Di beberapa wilayah, pendapatan dari tebu bahkan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Tidak sedikit pula anak-anak petani yang kini melanjutkan usaha orang tuanya dengan cara yang lebih modern dengan memanfaatkan teknologi pertanian, pupuk organik, hingga sistem irigasi tetes.
Selain menghasilkan gula, tebu juga menumbuhkan industri turunan yang mulai berkembang: bioetanol, pupuk kompos, hingga energi biomassa dari ampas tebu (bagasse). Beberapa desa bahkan memanfaatkan limbah tebu untuk produk kreatif seperti briket atau bahan kerajinan.
Pemerintah daerah pun melihat potensi besar ini sebagai bagian dari revitalisasi ekonomi desa dorongan untuk memanfaatkan lahan tidur sebagai kebun tebu rakyat, menjadi strategi utama memperkuat ekonomi lokal.
Di tengah dunia yang semakin digital, tebu membuktikan dirinya bukan sekadar komoditas lama yang tersisa, melainkan ikon ketahanan ekonomi desa. Di batang batangnya yang hijau, tersimpan harapan baru: bahwa kemajuan tidak selalu harus meninggalkan akar tradisi.