Viral Aksi Perundungan di SMPN 3 Doko Blitar: Pelajaran dan Tantangan di Era Modern

0
12

Mainberita – Pada Jumat, 18 Juli 2025, terjadi insiden bullying massal di SMP Negeri 3 Doko, Kabupaten Blitar, yang terekam dalam video berdurasi hampir satu menit dan viral di media sosial. Seorang siswa baru kelas 7 kerjanya di pengeroyokan oleh sekitar 14 siswa lainnya di area belakang kamar mandi sekolah. Korban tampak pasrah menerima pukulan dan tendangan, sementara yang lain hanya menonton dan merekam.

Motifnya diduga muncul akibat perundungan atau ejekan yang dilakukan korban kepada kakak kelas, hingga berujung dendam dan kekerasan balasan Polisi telah mengidentifikasi sekitar 14 siswa sebagai pelaku potensial dan melakukan penyidikan dengan pendekatan humanis dan edukatif.

Insiden ini pun mendapat sorotan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar yang menjamin evaluasi menyeluruh terhadap manajemen sekolah, serta tindakan tegas terhadap kepala sekolah dan guru yang lalai menjaga keamanan siswa. Dewan Pendidikan Jatim dan DPRD Jawa Timur juga menekankan pentingnya kerja sama sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam pencegahan bullying. DPRD bahkan tengah mengupayakan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak sebagai payung hukum pengaman anak dari kekerasan di sekolah dan lingkungan sosial .

Baca Juga  Sejak Kapan MPLS Dilaksanakan di Indonesia? Begini Sejarahnya

Mengapa Bullying Masih Terjadi di Zaman Sekarang?

  1. Kurangnya Kesadaran dan Transformasi Budaya
    Dulu, olok-olokan antar anak dianggap ‘biasa’. Namun saat ini, bentuk tersebut telah digolongkan sebagai bullying verbal yang melanggar hukum. Transformasi norma sosial belum sepenuhnya tertanam di lingkungan sekolah maupun keluarga (Suara Surabaya).
  2. Lingkungan Sosial yang Homogen dan Kecil
    SMPN 3 Doko adalah sekolah kecil dengan jumlah siswa kelas 7 hanya sekitar 20 dan berasal dari dusun yang sama. Kedekatan sosial tanpa pembiasaan perbedaan bisa memicu konflik lebih cepat, dan intensitas interaksi yang tinggi menyebabkan emosi lebih mudah meledak (Blitar Kawentar).
  3. Kurangnya Pengawasan dan Tindakan Preventif di Sekolah
    Video menunjukkan bahwa guru atau pendidik tidak hadir di lokasi kejadian. Guru seolah membiarkan situasi tanpa intervensi, yang bisa mengindikasikan lemahnya sistem pengamanan atau kesadaran wali kelas terhadap potensi konflik di lingkup MPLS atau kegiatan sekolah lainnya.
  4. Pengaruh Konten Kekerasan dan Normalisasi Media Sosial
    Anak-anak di era digital lebih terekspos konten kekerasan—baik dari TV maupun game online. Paparan semacam ini meningkatkan tingkat toleransi terhadap kekerasan serta menumbuhkan mental permisif, yang dapat diterjemahkan sebagai “bullying adalah hal yang biasa” .
  5. Kurangnya Pendidikan Karakter dan Resolusi Konflik
    Pendidikan seringkali terlalu menekankan aspek akademik, sementara pengembangan karakter, empati, dan resolusi konflik kurang diperkuat. Tanpa bimbingan dalam pengelolaan emosi dan konflik, anak-anak cenderung meniru atau melampiaskan gaya kekerasan saat menghadapi situasi konflik.
Baca Juga  Peringatan Hari Koperasi Nasional 2025, Momentum Menguatkan Ekonomi Kerakyatan

Penanganan dan Langkah ke Depan

  • Pendekatan Kolaboratif
    Penanganan kasus ini melibatkan sekolah, orang tua, aparat desa, Babinsa/Bhabinkamtibmas, hingga pihak Dispendik dan lembaga perlindungan anak. Forum musyawarah keluarga juga dijadikan ruang mediasi awal sebelum proses hukum berlangsung.
  • Sanksi dan Evaluasi Institusional
    Kepala Dinas Pendidikan Blitar menegaskan akan memberikan sanksi kepada kepala sekolah dan guru yang terbukti lalai, serta melakukan evaluasi total atas sistem pengawasan sekolah.
  • Pendidikan dan Regulasi Perlindungan Anak
    DPRD Jatim mendukung percepatan pengesahan Perda tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen hukum untuk mencegah bullying serta bentuk kekerasan lainnya di sekolah dan masyarakat.

Bullying di SMPN 3 Blitar menunjukkan bahwa perundungan masih bisa terjadi meski hidup di generasi modern—ketika norma sosial belum benar-benar berubah, edukasi karakter belum merata, dan lingkungan sekolah tidak cukup aman.

Baca Juga  Wali Kota Blitar Dorong MPLS Ramah dan Edukatif di Hari Pertama Sekolah Tahun Ajaran 2025

Untuk mencegah kejadian serupa, diperlukan pendekatan terpadu: edukasi nilai-nilai empati dan resolusi konflik sejak usia dini, peningkatan pengawasan di lingkungan sekolah, serta regulasi perlindungan hukum yang kuat bagi anak. Hanya dengan sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat kita bisa membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga penuh kasih dan berdaya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here